Berikut beberapa variasi penulisan atau pengucapan kata jancuk yang mungkin ditemukan dalam masyarakat:
• Jancuk
• Jancok
• Jancik
• Juancuk
• Juancok
• Dancuk
• Dancok
• Diancuk
• Diancok
• Diancik
• Hancuk
• Hancok
• Hancik
• Ancuk
• Ancok
• Cuk
• Cok
• Cik
• Coeg
Untuk penulisan kata jancuk dapat ditulis dalam aksara Pegon جَانْچُوكْ
Etimologi
Dilansir dari Kamus Daring Universitas Gadjah Mada , istilah “jancuk, jancok, diancuk, diancok, cuk, atau cok" memiliki makna “sialan, keparat, brengsek (ungkapan berupa perkataan umpatan untuk mengekspresikan kekecewaan atau bisa juga digunakan untuk mengungkapkan ekspresi keheranan atas suatu hal yang luar biasa)”.
Meski demikian, kata jancuk kemungkinan besar berasal dari kata ancuk yang artinya bersenggama atau bersetubuh. Kata ancuk yang berarti bersenggama telah masuk dalam kamus Bausastra Jawa 1939 oleh Purwadarminta.
Sejarah
Kata Jancok memiliki sejarah yang masih rancu sampai saat ini. Kata jancuk muncul karena adanya pelesetan dalam penyebutan oleh orang-orang terdahulu yang salah tangkap dalam pemaknaan, dan versi-versi ini muncul dari beberapa negara tetangga yang orang-orangnya mengucapkan kata yang memiliki intonasi berbeda namun dengan bunyi hampir sama. Hal ini bisa terjadi karena orang dari negara tetangga tersebut mengucapkan kata yang hampir mirip dengan kata jancok dengan menggunakan ekspresi marah, geram, atau sejenisnya. Menurut orang Jawa dahulu, Jancok menurupakan kata makian. Setidaknya terdapat lima versi asal-mula kata Jancok.
Versi kedatangan Arab
Jancuk versi Arab berasal dari kata Da’Suk. Da’ artinya “meninggalkanlah kamu”, dan assyu’a artinya “kejelekan”, jika digabung menjadi Da’Suk yang artinya “tinggalkanlah keburukan”. Jika diucapkan dalam logar surabaya kata tersebut menjadi “Jancok”s
Versi penjajahan Belanda
Menurut Edi Samson, seorang anggota Cagar Budaya di Surabaya, istilah Jancok atau Dancok berasal dari bahasa Belanda “yantye ook” yang memiliki arti “kamu juga”. Istilah tersebut populer di kalangan Indo-Belanda sekitar tahun 1930-an. Istilah “yantye ook” tersebut kemudian diplesetkan oleh para remaja Surabaya untuk mencemooh warga Belanda atau keturunan Belanda dan mengejanya menjadi “yanty ok” dan terdengar seperti “yantcook”. Sekarang, kata tersebut berubah menjadi “Jancok” atau “Dancok”.
Namun ada juga versi lain yang mengatakan kalau kata jancuk erat kaitannya dengan nama seorang pelukis asal Belanda. Pada saat itu ada seorang pelukis Belanda yang cukup tenar pada masa itu, nama pelukis Belanda ini adalah Jan Cox. Saat itu, pasukan Belanda di Surabaya datang untuk menyerang tentara Jepang dengan mengendarai tank. Salah satu tank yang mereka kendarai bertuliskan “Jan Cox” pada bagian depan tank.
Kebiasaan menuliskan nama seseorang atau sesuatu dibadan tank, pesawat, maupun peralatan perang lainnya sering dilakukan para tentara semasa Perang Dunia II. Banyak orang berpendapat bahwa awak operator tank M3 A3 Stuart ini sangat menyukai pelukis Jan Cox, sampai rela menulis nama sang pelukis di badan tank terssebut.
Tulisan Jan Cox yang ada pada badan tank membuat prajurit Tentara Keamanan Rakyat (TKR) di Surabaya pun mulai mengidentifikasi tank musuh dengan nama Jan Cox itu sendiri. Jadi, setiap kali tank Belanda datang, mereka akan berseru, “Jan Cox! Jan Cox!” sebagai tanda peringatan bahaya.
Pendapat mengenai kata jancok berasal dari tulisan pada tank Belanda dibantah oleh pendapat yang mengatakan bahwa jancok berasal dari bahasa Surabaya. Karena pada saat Belanda menjajah Indonesia, orang Indonesia masih menggunakan ejaan lama.
Versi penjajahan Jepang
Kata "Jancok" versi penjajahan jepang berasal dari kata Sudanco yang digunakan pada zaman romusha yang artinya “Ayo Cepat”. Karena kebiasaan mem-pelesetan suatu kata sudah mendarah daging, pemuda Surabaya pada saat itu, kata perintah tersebut diplesetkan menjadi “Dancok”.
Versi Surabaya
Warga Kampung Palemahan di Surabaya memiliki sejarah oral bahwa kata “Jancok” merupakan akronim dari “Marijan ngencuk” (“Marijan berhubungan badan”). Kata encuk merupakan bahasa Jawa yang memiliki arti “berhubungan badan”, terutama yang dilakukan di luar nikah. Versi lain menyebutkan bahwa kata “Jancuk” berasal dari kata kerja “diencuk”. Kata tersebut akhirnya berubah menjadi “Dancuk” dan terakhir berubah menjadi “Jancuk” atau “Jancok”.
Pendapat ini juga didikung atas penetapan Ejaan yang Disempurnakan mulai tahun 1972, sejak saat itu huruf J dibaca J, Sebeleumnya haruf J dibaca Y. Sehingga, tulisan Jan Cox akan dibaca Yan Koks. Di Surabaya ada istilah NGÊNCUK yang bermakna "menyetubuhi". Bentuk pasifnya adalah DIÊNCUK yang bermakna "disetubuhi"/ Kata DIGÊNCUK atau DIANCUK inilah yang terucap cepat menjadi JANCUK. Jadi, kata jancuk aslinya bermakna "distubi".
Versi Penelitian Jaseters
Menurut badan penelitian Jaseters, Kata Jancok merupakan suatu ungkapan kekecewaan yang merupakan sebuah gabungan kosakata berbahasa jawa, Jan yang berarti "teramat sangat, benar-benar" dengan Cak yang berarti "kakak, senior", yang berarti "kakak (kamu) sangat kelewatan".
Namun karena tidak ingin menyakiti hati senior tersebut, maka dirubahlah Cak menjadi Cok, sehingga tidak menyinggung orang tersebut dan terdengar familiar Jancok.
Versi kamus Daring Universitas Gadjah Mada
Menurut Kamus Daring Universitas Gadjah Mada, istilah jancok melambangkan ekspresi kekecewaan, amarah dan keheranan yang teramat, maknanya pun dapat disejajarkan dengan kata umpat, ''sialan, keparat, berengsek.''
Namun, mengacu pada kamus daring Universitas Gadjah Mada, kata ini bermakna sialan, keparat, brengsek, atau—dengan kata lain—merupakan ekspresi kekecewaan, umpatan, dan keheranan.
Makna atau Penggunaan Kata Jancuk
Kata “Jancok” merupakan kata yang tabu digunakan oleh masyarakat Pulau Jawa secara umum karena memiliki konotasi negatif. Namun, penduduk Surabaya, Gresik dan Malang menggunakan kata tersebut sebagai identitas komunitas mereka sehingga kata “Jancok” memiliki perubahan makna ameliorasi (perubahan makna ke arah positif).
Sujiwo Tedjo mengatakan:“Jancuk” itu ibarat sebilah pisau. Fungsi pisau sangat tergantung dari user-nya dan suasana psikologis si user. Kalau digunakan oleh penjahat, bisa jadi senjata pembunuh. Kalau digunakan oleh seorang istri yang berbakti pada keluarganya, bisa jadi alat memasak. Kalau dipegang oleh orang yang sedang dipenuhi dendam, bisa jadi alat penghilang nyawa manusia. Kalau dipegang orang yang dipenuhi rasa cinta pada keluarganya bisa dipakai menjadi perkakas untuk menghasilkan penghilang lapar manusia. Begitupun “jancuk”, bila diucapkan dengan niat tak tulus, penuh amarah, dan penuh dendam maka akan dapat menyakiti. Tetapi bila diucapkan dengan kehendak untuk akrab, kehendak untuk hangat sekaligus cair dalam menggalang pergaulan, “jancuk” laksana pisau bagi orang yang sedang memasak. “Jancuk” dapat mengolah bahan-bahan menjadi jamuan pengantar perbincangan dan tawa-tiwi di meja makan. (Sujiwo Tedjo, 2012, halaman x)Jancuk merupakan simbol keakraban. Simbol kehangatan. Simbol kesantaian. Lebih-lebih di tengah khalayak ramai yang kian munafik, keakraban dan kehangatan serta santainya “jancuk” kian diperlukan untuk menggeledah sekaligus membongkar kemunafikan itu. (Sujiwo Tejo, 2012: 397)
Dalam konferensi pers konser Mahacinta Rahwana di JX Internasional pada tanggal 18 November 2013, Sitok Srengenge menambah keterangan Sujiwo Tedjo yang menegaskan bahwa konsep dan filosofi jancukers tumbuh di Jawa Timur, khususnya Surabaya:"Di sinilah sebuah republik bernama Republik Jancukers itu tumbuh dan memunculkan definisi baru mengenai kata jancuk yang sudah tidak identik dengan konotasi negatif.